Rabu, 21 Februari 2018

Larangan Menikah Tanpa Wali

Larangan Menikah Tanpa Wali




Salah satu fenomena yang amat mengkhawatirkan dewasa ini adalah maraknya pernikahan �jalan pintas� dimana seorang wanita manakala tidak mendapatkan restu dari kedua orangtuanya atau merasa bahwa orangtuanya tidak akan merestuinya; maka dia lebih memilih untuk menikah tanpa walinya tersebut dan berpindah tangan kepada para penghulu bahkan kepada orang �yang diangkat� nya sendiri sebagai walinya, seperti orangtua angkat, kenalannya dan sebagainya.
Ini tentunya sebuah masalah pelik yang perlu dicarikan akar permasalahan dan solusinya secara tuntas, sehingga tidak berlarut-larut dan menjadi suatu trendi sehingga norma-norma agama diabaikan sedikit demi sedikit bahkan dilabrak.

Tidak luput pula dalam hal ini, tayangan-tayangan di berbagai media televisi yang seakan mengamini tindakan tersebut dan dengan tanpa kritikan dan sorotan menyuguhkan adegan-adegan seperti itu di hadapan jutaan pemirsa yang notabenenya adalah kaum Muslimin.
Hal ini menunjukkan betapa umat membutuhkan pembelajaran yang konfrehensif dan serius mengenai wawasan tentang pernikahan yang sesuai dengan tuntunan ajaran agamanya mengingat tidak sedikit tradisi di sebagian daerah (untuk tidak mengatakan seluruhnya) yang bertolak belakang dengan ajaran agama dan mentolerir pernikahan tanpa wali tersebut bilamana dalam kondisi tertentu seperti tradisi �kawin lari�. Dengan melakukan tindakan ini dengan cara misalnya, menyelipkan sejumlah uang di bawah tempat tidur si wanita, seakan kedua mempelai yang telah melakukan hubungan tidak shah tersebut -karena tanpa wali yang shah- menganggap sudah tidak ada masalah lagi dengan pernikahannya sekembalinya dari melakukan pernikahan ala tersebut.
Sebagai dimaklumi, bahwa tradisi tidak dianggap berlaku bilamana bertabrakan dengan syari�at Islam.
Mengingat demikian urgen dan maraknya masalah ini, sekalipun sudah menjadi polemik di kalangan ulama fiqih terdahulu, maka kami memandang perlu mengangkatnya lagi dalam koridor kajian hadits, semoga saja bermanfa�at bagi kita semua dan yang telah terlanjur melakukannya menjadi tersadar, untuk selanjutnya kembali ke jalan yang benar.

Naskah Hadits

1. ???? ????? ????????, ???? ????? ?????? ???? ???????? -??? ???? ?????- ?????: ????? ??????? ?????? ?????? ????? ???????? ?????????: " ??? ??????? ????? ????????? ."
Dari Abu Burdah, dari Abu Musa dari ayahnya �radliyall�hu anhuma-, dia berkata, Rasulullah Shallall�hu alaihi Wa Sallam bersabda, �Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan wali.�
2. ???? ????????? ???? ?????????? ???????????: ??? ??????? ?????? ????????? ?????????????
Dari �Imran bin al-Hushain secara marfu� : �Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi.�
3. ?????? ????????? ?????? ????? ??????? ???????: ????? ???????? ????? ?????? ????? ???????? ????????? : "???????? ????????? ???????? ???????? ?????? ?????????? ???????????? ???????? ?????? ?????? ????? ??????? ????????? ????? ?????????? ???? ?????????? ?????? ???????????? ?????????????? ??????? ???? ??? ???????? ????. "
Dan dari �Aisyah radliyall�hu anha, dia berkata, Rasulullah Shallall�hu alaihi Wa Sallam bersabda, �Siapa saja wanita yang menikah tanpa idzin walinya, maka pernikahannya batil; jika dia (suami) sudah berhubungan badan dengannya, maka dia berhak mendapatkan mahar sebagai imbalan dari dihalalkannya farajnya; dan jika mereka berselisih, maka sultan (penguasa/hakim dan yang mewakilinya-red.,) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.�
Takhrij Hadits Secara Global
Hadits pertama dari kajian ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan empat Imam hadits, pengarang kitab-kitab as-Sunan (an-Nasaiy, at-Turmudziy, Abu Daud dan Ibn Majah). Hadits tersebut dinilai shah�h oleh Ibn al-Madiniy dan at-Turmudziy serta Ibn Hibban yang menganggapnya memiliki �illat (cacat), yaitu al-Irsal (terputusnya mata rantai jalur transmisinya setelah seorang dari Tabi�in, seperti bila seorang Tab�iy berkata, �Rasulullah bersabda, demikian��).
Hadits kedua dari kajian ini diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dari al-Hasan dari �Imran bin al-Hushain secara marfu� (sampai kepada Rasulullah).
Menurut Syaikh �Abdullah bin �Abdurrahman al-Bassam, kualitas hadits ini adalah Shah�h dan dikeluarkan oleh Abu Daud, at-Turmudziy, ath-Thahawiy, Ibn Hibban, ad-Daruquthniy, al-H�kim, al-Baihaqiy dan selain mereka. Hadits ini juga dinilai shah�h oleh Ibn al-Madiniy, Ahmad, Ibn Ma�in, at-Turmudziy, adz-Dzuhliy, Ibn Hibban dan al-H�kim serta disetujui oleh Imam adz-Dzahabiy. Ibn al-Mulaqqin di dalam kitab al-Khul�shah berkata, �Sesungguhnya Imam al-Bukhariy telah menilainya shah�h dan juga dijadikan argumentasi oleh Ibn Hazm.� Al-H�kim berkata, �Riwayat mengenainya telah shahih berasal dari ketiga isteri Nabi Shallall�hu alaihi Wa Sallam; �Aisyah, Zainab dan Ummu Salamah.� Kemudian dia menyebutkan 30 orang shahabat yang semuanya meriwayatkannya.
Syaikh al-Albaniy berkata, �Tidak dapat disangkal lagi, hadits tersebut berkualitas Shah�h sebab hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa tersebut dinilai shahih oleh banyak ulama. Jika, digabungkan lagi dengan riwayat pendukung dari sisi matan (T�bi�) dan sebagian riwayat pendukung dari sisi sanad (Sy�hid) yang kualitasnya tidak lemah sekali, maka hati kita menjadi tenang untuk menerimanya.�
Sedangkan hadits yang ketiga dari kajian ini, kualitasnya adalah Hasan. Hadits tersebut dikeluarkan oleh Imam Ahmad, asy-Syafi�iy, Abu Daud, at-Turmudziy, Ibn Majah, ad-Daruquthniy, al-H�kim dan al-Baihaqiy serta selain mereka dari jalur yang banyak sekali melalui Ibn Juraij dari Sulaiman bin Musa dari az-Zuhriy dari �Urwah dari �Aisyah. Rij�l (Para periwayat dalam mata rantai periwayatan) tersebut semuanya Tsiq�t dan termasuk Rij�l Imam Muslim.
Hadits ini dinilai shahih oleh Ibn Ma�in, Abu �Aw�nah dan Ibn Hibban. Al-H�kim berkata, �Hadits ini sesuai dengan syarat yang ditetapkan asy-Syaikh�n (al-Bukhariy dan Muslim), diperkuat oleh Ibn �Adiy dan dinilai Hasan oleh at-Turmudziy. Hadits ini juga dinilai Shah�h oleh Ibn al-Jawziy akan tetapi beliau menyatakan bahwa terdapat �illat, yaitu al-Irs�l akan tetapi Imam al-Baihaqiy menguatkannya dan membantah statement Ibn al-Jawziy tersebut. Maka berdasarkan hal ini, hadits ini kualitas isnadnya Hasan. Wallahu a�lam.�

Beberapa Pelajaran dari Hadits-Hadits Tersebut
1.    Keberadaan wali dalam suatu pernikahan merupakan syarat shahnya sehingga tidak shah suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali yang melaksanakan �aqad nikah. Ini adalah pendapat tiga Imam Madzhab; Malik, asy-Syaf�iy dan Ahmad serta jumhur ulama.
Dalil pensyaratan tersebut adalah hadits diatas yang berbunyi (artinya), �Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan wali.�
Al-Munawiy berkata di dalam kitab Syarh al-J�mi� ash-Shagh�r, �Hadits tersebut hadits Mutawatir.� Hadits ini dikeluarkan oleh al-H�kim dari 30 sumber. Sedangkan hadits �Aisyah diatas (no.3 dalam kajian ini) sangat jelas sekali menyatakan pernikahan itu batil tanpa adanya wali, dan bunyinya (artinya), �Siapa saja wanita yang menikah tanpa idzin walinya, maka pernikahannya batil (tiga kali).�
2.    �Aqad nikah merupakan sesuatu yang serius sehingga perlu mengetahui secara jelas apa manfa�at pernikahan tersebut dan mudlaratnya, perlu perlahan, pengamatan yang seksama dan musyawarah terlebih dahulu. Sementara wanita biasanya pendek pandangannya dan singkat cara berpikirnya alias jarang ada yang berpikir panjang sehingga dia memerlukan seorang wali yang memberikan pertimbangan akan �aqad tersebut dari aspek manfa�at dan legitimasi hukumnya. Oleh karena itu, adanya wali termasuk salah satu syarat �aqad berdasarkan nash yang shahih dan juga pendapat Jumhur ulama.
3.    Seorang wali disyaratkan sudah mukallaf, berjenis kelamin laki-laki, mengetahui manfa�at pernikahan tersebut dan antara wali dan wanita yang di bawah perwaliannya tersebut seagama. Siapa saja yang tidak memiliki spesifikasi ini, maka dia bukanlah orang yang pantas untuk menjadi wali dalam suatu �aqad nikah.
4.    Wali adalah seorang laki-laki yang paling dekat hubungannya dengan si wanita; sehingga tidak boleh ada wali yang memiliki hubungan jauh menikahkannya selama wali yang lebih dekat masih ada. Orang yang paling dekat hubungannya tersebut adalah ayahnya, kemudian kakeknya dari pihak ayah ke atas, kemudian anaknya ke bawah, yang lebih dekat lagi dan lebih dekat lagi, kemudian saudara kandungnya, kemudian saudaranya se-ayah, demikian seterusnya berdasarkan runtut mereka di dalam penerimaan warisan. Disyaratkannya kedekatan dan lengkapnya persyaratan-persyaratan tersebut pada seorang wali demi merealisasikan kepentingan pernikahan itu sendiri dan menjauhi dampak negatif yang ditimbulkannya.
5.    Bila seorang wali yang memiliki hubungan jauh menikahkan seorang wanita padahal ada wali yang memiliki hubungan lebih dekat dengannya, maka hal ini diperselisihkan para ulama:
Pendapat pertama mengatakan bahwa pernikahan tersebut Mafs�kh (batal).
Pendapat Kedua menyatakan bahwa pernikahan itu boleh.
Pendapat Ketiga menyatakan bahwa terserah kepada wali yang memiliki hubungan lebih dekat tersebut apakah membolehkan (mengizinkan) atau menfasakh (membatalkan) nya.
Sebab Timbulnya Perbedaan
Sebab

visit link download
download

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.